Kamis, 26 November 2015

Tugas Amdal dalam Bidang Rumah Sakit

    Dampak Lingkungan Rumah Sakit

a . P e n g e r t i a n
            Dampak lingkungan Rumah Sakit mempunyai arti yang luas baik dari segi dampak/akibat maupun penyebabnya, tetapi dalam mekalah ini yang akan dibicarakan adalah dampak akibat limbah Rumah Sakit, masalah serta upaya penanggulangannya.
            Pada setiap tempat di mana orang berkumpul akan selalu dihasilkan limbah dan memerlukan pembuangan, demikian pula Rumah Sakit yang merupakan sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya orang sakit maupun sehat menghasilkan limbah. Secara garis besar ada 3 (tiga) macam limbah Rumah Sakit yaitu limbah padat (sampah), limbah cair dan limbah klinis
-Sampah- Sampah.
            Rumah Sakit dapat dianggap sebagai mata rantai penyebaran penyakit menular karena sampah menjadi tempat tertimbunnya mikro organisme penyakit dan sarang serangga serta tikus. Di samping itu kadang-kadang dapat mengandung bahan kimia beracun dan benda benda tajam yang dapat menimbulkan penyakit atau cidera.
- Limbah Cair
            Limbah cair Rumah Sakit adalah semua limbah cair yang berasal dari ruangan-ruangan atau unit di Rumah Sakit yang kemungkinan mengandung mikro organisme, bahan kimia beracun dan radio aktif.
- Limbah klinis
            Limbah klinis adalah limbah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan gizi, "Veteranary", Farmasi atau sejenis serta limbah yang dihasilkan di Rumah Sakit pada saat dilakukan perawatan/pengobatan atau penelitian. Bentuk limbah klinis antara lain berupa benda tajam, limbah infeksius, jaringan tubuh, limbah cito toksik. limbah Farmasi, limbah kimia, limbah radio aktif dan limbahplastik.
b. Dampak
            Ketiga limbah di atas secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan gangguan kesehatan dan membahayakan bagi pengunjung maupun petugas kesehatan. Ancaman ini timbul pada saat penanganan, penampungan, pengangkutan dan pemusnahannya. Keadaan ini terjadi karena :
- Volume limbah yang dihasilkan melebihi kemampuan pembuangannya.
- Beberapa di antara limbah berpotensi menimbulkan bahaya apabila tidak ditangani dengan baik.
- Limbah ini juga akan menimbulkan pencemaran lingkungan bila dibuang
sembarangan dan akhirnya membahayakan serta mengganggu kesehatan
masyarakat.
c. Masalah
            Pada dasarnya semua bahaya limbah Rumah Sakit tersebut dapat ditanggulangi, namun berbagai faktor seperti kebiasaan buruk, ketidak-tahuan, kebutuhan hidup (pemulung), biaya dan lain-lain masih menjadi masalah utama dalam penanggulangan limbah ini.
Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit
            Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh RS di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per hari. Sedangkan produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari. Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infektius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan kemungkinannya menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit (Sebayang dkk, 1996). Rumah sakit menghasilkan limbah dalam jumlah besar, beberapa diantaranya membahyakan kesehatan di lingkungannya. Di negara maju, jumlah limbah diperkirakan 0,5 – 0,6 kilogram per tempat tidur rumah sakit per hari (Sebayang dkk, 1996).
                Sementara itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran kepada 23 rumah sakit (RS) yang tidak mengindahkan surat peringatan mengenai keharusan memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Berdasarkan data dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jaktim yang diterima Pembaruan, dari 26 rumah sakit yang ada di Jaktim, hanya tiga rumah sakit saja yang memiliki IPAL dan bekerja dengan baik. Selebihnya, ada yang belum memiliki IPAL dan beberapa rumah sakit.
                IPAL-nya dalam kondisi rusak berat (Sebayang dkk, 1996).Data tersebut juga menyebutkan, hanya sembilan rumah sakit saja yang memiliki incinerator. Alat tersebut, digunakan untuk membakar limbah padat berupa limbah sisa-sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh dibuang begitu saja. Menurut Kepala BPLHD Jaktim, Surya Darma, pihaknya sudah menyampaikan surat edaran yang mengharuskan pihak rumah sakit melaporkan pengelolaan limbahnya setiap tiga bulan sekali. Sayangnya, sejak dilayangkannya surat edaran akhir September 2005 lalu, hanya tiga rumah sakit saja yang memberikan laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis. Padahal, limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi, limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu (Sebayang dkk, 1996).Sementara itu, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Sudin Kesmas Jaktim menduga, buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar. Padahal setiap rumah sakit, selain harus memiliki IPAL, juga harus memiliki surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) dan surat izin pengolahan limbah cair. Sementara limbah organ-organ manusia harus di bakar di incinerator. Persoalannya, harga incinerator itu cukup mahal sehingga tidak semua rumah sakit bisa memilikinya (Sebayang dkk, 1996).
                Beberapa hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit, dan jadi penyebab tingginya tingkat penurunan kualitas lingkungan dari kegiatan rumah sakit antara lain disebabkan, kurangnya kepedulian manajemen terhadap pengelolaan lingkungan karena tidak memahami masalah teknis yang dapat diperoleh dari kegiatan pencegahan pencemaran, kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya pengendalian pencemaran karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran, kurang memahami apa yang disebut produk usaha dan masih banyak lagi kekurangan lainnya (Sebayang dkk, 1996). Untuk itu, upaya-upaya yang harus dilakukan rumah sakit adalah, mulai dan membiasakan untuk mengidentifikasi dan memilah jenis limbah berdasarkan teknik pengelolaan (Limbah B3, infeksius, dapat digunapakai atau guna ulang). Meningkatkan pengelolaan dan pengawasan serta pengendalian terhadap pembelian dan penggunaan, pembuangan bahan kimia baik B3 maupun non B3. Memantau aliran obat mencakup pembelian dan persediaan serta meningkatkan pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan lingkungan melalui pelatihan dengan materi pengolahan bahan, pencegahan pencemaran, pemeliharaan peralatan serta tindak gawat darurat (Sebayang dkk, 1996).
                Limbah rumah Sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Mengingat dampak yang mungkin timbul, maka diperlukan upaya pengelolaan yang baik meliputi pengelolaan sumber daya manusia, alat dan sarana, keuangan dan tatalaksana pengorganisasian yang ditetapkan dengan tujuan memperoleh kondisi rumah sakit yang memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan (Said, 1999). Limbah rumah Sakit bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme bergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang. Limbah cair rumah sakit dapat mengandung bahan organik dan anorganik yang umumnya diukur dan parameter BOD, COD, TSS, dan lain-lain. Sedangkan limbah padat rumah sakit terdiri atas sampah mudah membusuk, sampah mudah terbakar, dan lain-lain. Limbah- limbah tersebut kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun berbahaya yang menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan rumah sakit yang disebabkan oleh teknik pelayanan kesehatan yang kurang memadal, kesalahan penanganan bahan-bahan terkontaminasi dan peralatan, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana sanitasi yang masib buruk.
                Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika dilakukan dengan memilah-milah limbah ke dalam pelbagai kategori. Untuk masing-masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin menghindari resiko kontaminsai dan trauma (injury). jenis-jenis limbah rumah sakit meliputi bagian berikut ini (Shahib dan Djustiana, 1998) :
a.Limbah Klinik
Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin, pembedahan dan di unit-unit resiko tinggi. Limbah ini mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan populasi umum dan staff rumah sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas sebagai resiko tinggi. contoh limbah jenis tersebut ialah perban atau pembungkus yang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-jarum dan semprit bekas, kantung urin dan produk darah.

b. Limbah Patologi
Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diotoklaf sebelum keluar dari unit patologi. Limbah tersebut harus diberi label biohazard.

c. Limbah Bukan Klinik
Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkontak dengan cairan badan. Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah tersebut cukup merepotkan karena memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut dan mambuangnya.
d. Limbah Dapur
Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga seperti kecoa, kutu dan hewan mengerat seperti tikus merupakan gangguan bagi staff maupun pasien di rumah sakit.
e. Limbah Radioaktif
Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di rumah sakit, pembuangannya secara aman perlu diatur dengan baik.
            Secara garis besar masalah yang dihadapi di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.      Di Lingkungan Rumah Sakit
-          Sebagian besar bangunan Rumah Sakit di Indonesia pada saat ini tidak dilengkapi dengan sarana pembuangan limbah yang memadai seperti
-          "Spoel Hok", sehingga pencemaran lingkungan lebih mudah terjadi.
-          Belum semua Rumah Sakit dilengkapi dengan sarana pembuangan sampah yang memenuhi syarat karenabatasan lahan dan kendala biaya.
-           Sikap dan perilaku petugas termasuk para manajer Rumah Sakit yang belum mendukung dalam setiap upaya penanggulangan limba
-          Adat dan kebiasaan buruk dari masyarakat kita yang disebabkan ketidaktahuan dan tingkat pendidikan yang kurang.
-          Belum tersedianya dana kahusus baik untuk penelaahan maupun penyediaan sarana pembuangan limbah Rumah Sakit yang tercantum dalam APBN, APBD ataupun sumber dana lainnya.
-           Biaya pembuatan sarana pembuangan dirasakan masin terlampau mahal, sehingga perlu dibuat suatu sarana yang lebih sederhana, lebih mudah namun memenuhi syarat.
2.       Di Luar Lingkungan Rumah Sakit
-          Kebutuhan hidup dari para pemulung yang sulit dihindarkan
-           Seyogyanya suatu kota perlu memiliki saluran air limbah, namun saat ini belum tersedia sehingga sangat disarankan untuk diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke saluran air perkotaan

III.             Upaya-upaya penanggulangan limbah
            Upaya-upaya penanggulangan dampak limbah Rumah Sakit di Indonesia merupakan bagian dari upaya peningkatan lingkungan Rumah Sakit, seperti yang tercantum pada Pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan No.986/ 1992, yang meliputi penyehatan bangunan, makanan dan minuman, kualitas air, tempat, pencucian linen, pengendalian sampah dan limbah, tikus dan serangga, sterilisasi, perlindungan radiasi serta penyuluhan kesehatan lingkungan.
            Kebijakan dan Langkah-langkah yang akan dilaksanakan oleh Provinsi
Di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.       Kewenangan penanganan limbah berada pada daerah atau Rumah Sakit yang bersangkutan, dengan pembinaan teknis dari Kantor Departemen Kesehatan DT II dan Kantor wilayah Kesehatan di DT I.
2.      Sesuai dengan edaran Dirjen Pelayanan Medis Nomor PM 01.05.6.1.01353 tentang Limbah Rumah Sakit, maka :
a.       Setiap Rumah Sakit harus mempunyai IPAL.
b.      Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang telah ada agar dilola dengan baik.
c.       Efluen IPAL dipantau secara berkala. Minimal 1 (satu) bulan sekali diperiksa di laboratorium yang telah ditunjuk dan yang belum memenuhi syarat harus segera diperbaiki.
d.      IPAL harus direncalakan dengan baik dan disertai studi kelayakan.
e.       Tenaga pengelola IPAL didayagunakan seoptimal mungkin. Kualitas tenaga tergantung dari kelas Rumah Sakit. Kelas A & B serendah-rendahnya S1 di bidang kesehatan lingkungan : teknik penyehatan, kimia, teknik sipil. Kelas C serendah-rendahnya D3 di bidang kesehatan : lingkungan, teknik penyehatan, biologi, teknik kimia, teknik lingkungan dan teknik sipil. Kelas D Paramedik di bidang kesehata n lingkungan, teknik penyehatan, kimia, teknik sipil.
f.        Bagi Rumah Sakit yang belum mempunyai tenaga-tenaga tersebut agar dipersiapkan antara lain mengikuti pelatihan.
3.      Teknis Pengelolaan
 Secara teknik, cukup banyak cara yang dapat dipergunakan untuk mengelola limbah padat dan cari, namun pada dasarnya merupakan rangkaian unit pengelola limbah. Teknis pengelolaan limbah tersebut mengacu kepada pedoman Mente ri Kesehatan tentang Peng elolaan Limbah Klinis, antara lain : tentang Standardisasi kantong dan kontainer pembuangan limbah. Keseragaman standar kantong dan kon tainer mempunyai keuntungan sebagai berikut : mengurangi biaya dan waktu pelatihan staf, meningkatkan keamanan se c ara umum, pengurangan biaya produksi kantong dan kontainer. Secara nasional kode standar diusulkan untuk sampah yang paling berbah aya , antaralain :
-          Sampah infeksius: kantong berwarna kuning dengan simbol biohazard berwarna hitam
-           Sampah sitotoksik kantong berwarna ungu dengan simbol berbentuk sel dalam telofase
-          Sampah radio aktif kantong berwarna merah dengan simbol radio aktif.

Cara pengelolaan limbah
a.       Untuk limbah padat dipergunakan suatu insenerator yang sederhana, tidak memakan lahan, dengan biaya tidak terlalu mahal dan sesuai dengan kondisi serta situasi Rumah Sakit. Salah satu contoh/model incenerator seperti model pada halaman berikut
b.      Salah satu proses pengolahan limbah cair adalah dengan cara sedimentasi : air limbah yang ke luar dari Rumah Sakit ditampung pada bak "intermediate" equilisasi yang kemudian diaduk cepat, sehingga terbentuk partikel-partikel, lalu diaduk lambat/fluktuasi, kemudian terjadi proses sedimentasi  filtrasi, netralisasi dan efluen yang ke luar dapat digunakan untuk proses biologi atau dibuang tanpa ada efek pencemaran.Sebagai contoh antara lain Waste Oxidation Ditch Treatment System
(Kolom oksidasi air limbah).



IV.              Kesimpulan dan Saran
            Pengelolaan limbah Rumah Sakit di Indonesia masih mengalami kendala/masalah, oleh karena itu perlu upaya-upaya penanggulangan yang lebih terkoordinasikan, terstruktur dan terencana dengan metoda yang sederhana namun efisien.

Sumber:http://aguszn.blogspot.co.id/2011/09/dampak-limbah-rumah-sakit.html

Sabtu, 10 Oktober 2015

Pencemaran Lingkungan

PENCEMARAN LINGKUNGAN


                                                   

 
·         A) . Apasih pencemaran lingkungan itu?

Menurut saya pencemaran lingkungan itu adalah sebuah ulah atau perbuatan manusia yang tidak bertangung jawab terhadap kebersihan lingkungan, Tentunya KEBRSIHAN SEBAGIAN DARI IMAN dan terasa sangat mahal sebuah tong sampah , padahal lebih baik dan lebih bagus membuang sampah pada tempatnya. Tapi yang namanya pencemaran itu sangat mengganggu terutama menggangu lingkungan, lingkungan yang sehat itu tentunya bebas dari sampah ataupun berbagai macam pencemaran dari mulai bebas pencemaran udara, darat, dan air. Dan jadi sebuah pencemaran itu sangat tidak baik bagi manusia bisa mengakibatkan berbagai macam penyakit .
·        B).  Kenapa manusia lebih memilih membuang sampah sebarangan?
Mungkin faktor utama yaitu karna tempat sampah dilingkungan rumah tangga kurang memadai dan atau sampah di lingkungan RT atau RW tidak diambil oleh petugas kebersihan daerah, dan ada juga yang sudah kebiasaan , wow iniyang sangat bahaya apabila sudah menjadi kebiasaan mebuang sampah sembarangan,
dimana saja sih tempat tempat favorit yang biasa orang mebuang sampah sembarangan ? yaitu   
                           
1. Jalanan, nah ini dia yang paling sering orang membuang sampah sembarangan, miris ngeliat nya. dan mungkin ini ada solusnya iyaaa tentu semua masalah pasti ada solusinya, solusinya yaitu mungkin denan menunjukan jalan ke tempat sampah atau taruh papan pengumuman untuk tidak membuang sampah sembarangan. dan tentunya bisa di taruh tempat sampah yang ukuran bersekala kecil di sepanjang jalan.
 
 2. Sungai, ini adalah tempa yang paling sering orang membuang sampah sembarangan, mungkin pola pikir manusia yang membuang sampah sembarangan yaitu sungai pasti mengalir dan kala membuang sampah disitu pasti akan mengalir ketempat lain, haha .. tapi itukan sungai kalau hujan itu kan buat aliran air hujannyatapi ini malah di isi sama sampah sampah masyarakat . semoga cepat atau lambat pikiran mereka sadar akan hal ini yang sangat tidak baik.
Dan masih banyak lokasi lokasi yang dijadikan oran membuang sampah sembarangan.

C). Siapakah Pahlawan Lingkungan ?
 Siapakah Pahlawan Lingkungan ? ini dia pahlawan yang ada disekitar kita "Tukang Sampah" dan bahkan ada anak kecil yang ada didalam foto, masa ga malu kalah sama anak kecil yang buang sampah pada tempatnya. Jangan memandang sebelah mata tukang sampah justru kita harus bangga terhadap orang berprofesi tukang sampah karna itu pekerjaan yang sangat mulia.
 D).Solusi dan sindiran soal Kebersihan Lingkungan.
       Solusinya yaitu adalah kesadaran pada dirikita sendiri soal menjaga lingkungan dari pencemaran lingkungan. dan solusinya juga yaitu kita harus bergotong royong bekerja sama dalam menangani masalah sampah yang ada dilingkungan kita, membersihkan saluran sungai yang terhambat akibat sampah yang menumpuk, dan juga bisa memberi palang pemberitahuan "Dilarang membuang sampah di tempat ini"
dan banyak papan peringatan yang ada disekitar. bahkan saking banyaknya ada beberapa papan peringatan yang dengan berisi sindiran, itu semua agar manusia sadar akan Pentingnya tidak membuang sampah sembarangan. ini contoh gambar gambar yang berisi sindiran.
Terimakasih telah membaca, semoga bermanfaat dan menyadarkan jiwa kalian untuk menjaga lingkungan bersama dan tidak membuang sampah sembarangan.

Selasa, 16 Juni 2015



Politik Negara, Pengambilan Keputusan, PengertianKekuasaan, Kekuasaan Negara, Dan Strategi Nasional

    A.    Pengertian Politik Negara

Ilmu politik mempelajari suatu segi khusus dari kehidupan masyarakat yang  soal kekuasaan. Tumpuan kajian ilmu politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu proses sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut (Miriam Budiharjo, 1992). Sistem itu menurut Deliar Noer (1983) meliputi sistem kekuasaan, wibawa, pengaruh, kepentingan, nilai, keyakinan dan agama, pemilikan, status dan sistem ideologi.
Menurut Syarbani (2002:13), tumpuan kajian ilmu politik adalah upaya-upaya memperoleh kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, penggunaan kekuasaaan, dan bagaimana menghambat penggunaan kekuasaan. Dengan demikian dilihat dari aspek kenegaraan, ilmu politik mempelajari negara, tujuan negara, dan lembaga negara, serta hubungan kekuasaan baik sesama warga negara, hubungan negara dengan warga negara, dan hubungan antar negara. Apabila dilihat dari aspek kekuasaan ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat, hakikat, dasar, proses, ruang lingkup, dan hasil dari kekuasaan itu. Dilihat dari aspek kelakuan, ilmu politik mempelajari kelakuan politik dalam sistem politik yang meliputi budaya politik, kekuasaan, kepentingan, dan kebijakan.
Melihat penjelasan di atas, kajian ilmu politik meliputi: (1) teori ilmu politik, (2) lembaga-lembaga politik (undang-undang dasar, pemerintahan nasional, pemerintahan daerah, fungsi ekonomi dan sosial dari pemerintah dan perbandingan lembaga-lembaga politik), (3) partai politik, dan (4) hubungan internasional.
Minimal ada enam hal yang ditekankan dalan ilmu politik, yaitu kekuasaan, negara, pemerintahan, fakta-fakta politik, kegiatan politik, organisasi masyarakat. Sedangkan obyek ilmu politik meliputi dua hal yaitu, (1) material (obyek ini berwujud pada perjuangan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dengan obyek negara, kekuasaan, pemerintah, fakta-fakta politik, kegiatan politik, dan organisasi masyarakat). dan (2) formal (pengetahuan, pusat perhatian). Dengan demikian, Syarbaini menyimpulkan ada lima konsep tentang ilmu politik, yaitu (1) sebagai usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama, (2) segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah, (3) segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan, (4) kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum, dan (5) sebagai konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
Sementara itu, menurut Maran (1999) politik merupakan studi  khusus  tentang  cara-can  manusia  memecahkan permasalahan bersama dengan manusia yang lain. Dengan kata lain, politik merupakan bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan dan pelaksanaan tujuan-tujuan. Untuk melaksanakan tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi sumber-sumber dan berbagai sumber dava vang ada. Untuk itu diperlukan kekuatan {power) dan kewenangan {aiitliorlty). yang dipakai baik untuk membina kerja sama rnaupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses tersebut. Kekuasaan itu bisa dipakai secara persuasif bisa juga secara koersif (paksaan) Definisi lebih sederhana tetapi padat dapat dilihat dari pendapatnya Surbakti (1999) yang mengcitakan bahwa konsep politik merupakan intcraksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pcmbuatan dan pdaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertcntu.
Arti politik yang terekam dari berbagai referensi ilmu politik disimpulkan terdapat tiga penjelasan. Pertama, rnengidentifikasikan kategori-kategori aktivitas yang membentuk politik. Dalam hal ini Paul Conn menganggap konflik sebagai esensi politik. Kedua, menyusun suatu rumusan yang dapat merangkum apa saja yang dapat dikategorikan sebagai politik. Politik dapat dirumuskan sebagai “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana”. Ketiga, menyusun daftar pertanyaan yang harus dijawab untuk memahami politik. Melalui daftar pertanyaan diharapkan dapat memberi jawaban dengan gambaran yang tepat mengenai politik (Surbakti, 1992).

Singkatnya, ilmu politik selain mempelajari tentang interaksi antara pemerintah dan masyarakat untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama, yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah melalui perumusan dan Pelaksanaan kebijakan umum, juga membicarakan tentang berbagai upaya perebutan mencari dan mempertahankan kekuasaan.
Menurut Weber, sosiologi harus bebas nilai (value free), tidak bias kepentingan atau keyakinan moral pribadi. Bias personal harus dihindari selama melakukan riset ilmiah. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin objektivitas kebenaran sosiologi.
Dari konseptualisasi sosiologis yang disumbangkan oleh para tokoh  ilmu  sosial, selanjutnya dijadikan pijakan dalam merumuskan   ruang   lingkup   sosiologi   politik.   Dalam operasionalnva, cakupan materi sosiologi politik terwujud dalam beberapa hal: (1) sosialisasi politik; (2) partisipasi politik; (3) perekrutan politik; (4) komunikasi politik.

1. Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik adalah suatu proses agar setiap individu atau kelompok dapat mengenali sistem politik dan menentukan sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap fenomena-fenomena politik.
Kerja sosialisasi politik meliputi pemeriksaan mengenai lingkungan kultural, lingkungan politik dan lingkungan sosial individu maupun kelompok. Dengan demikian, sosialisasi politik merupakan landasan sosiologi politik selain yang terpenting juga memegang peranan utama dan pertama bagi setiap tindakan politik.

2. Partisipasi Folitik
Partisipasi politik ialah keterlibatan individu atau kelompok pada level terendah sampai yang tertinggi dalam sistem politik. Hal ini berarti bahwa partisipasi politik merupakan bentuk konkret kegiatan politik yang dapat mengabsahkan seseorang berperan serta dalam sistem politik.
Dengan demikian, maka setiap individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya akan memiliki perbedaan-perbedaan dalam partisipasi politik; sebab partisipasi menyangkut peran konkrit politik di mana seseorang akan berbeda perannya, strukturnya dan kehendak dari sistem politik yang diikutinya.

3. Perekrutan Politik
Pengrekrutan politik adalah suatu proses yang menempatkan seseorang dalam jabatan politik setelah vang bersangkutan diakui kredibilitas dan lovalitasnya. Perekrutan politik merupakan konsekuensi logis dalam memenuhi kesinambungan sistem politik dan adanva suatu sistem politik yang hidup dan berkembang.
Dalam operasionalnya, perekrutan politik dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama, perekrutan yang bersifat formal yakni ketika seseorang menduduki jabatan politik direkrut secara terbuka melalui ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan ketetapan-ketetapan   itu   disahkan   secara   bersama-sama. Perekrutan ini dilaksanakan melalui seleksi atau melalui pemilihan. Kedua, perekrutan tidak formal yakni usaha seseorang tanpa suatu proses terbuka sehingga seseorang itu mendapatkan kesempatan atau mungkin didekati orang lain untuk diberi posisi-posisi tertentu.
4. Komunikasi Politik
Komunikasi politik ialah suatu proses penyampaian informasi politik pada setiap individu anggota sistem politik atau informasi dari satu bagian sistem politik kepada bagian yang lainnya, dan informasi yang saling diterima di antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik.
Informasi tersebut bersifat terus-menerus, bersifat pertukaran baik antara individu, individu ke kelompok maupun kelompok ke kelompok yang dampaknya dapat dirasakan oleh semua tingkatan masyarakat. Informasi itu bisa dalam bentuk harapan, kritikan, reakasi-reaksi masyarakat terhadap sistem politik dan pejabat politik. Atau suatu harapan, ajakan, janji dan saran-saran pejabat politik kepada masyarakatnya yang berdampak terhadap perubahan atau nwmperteguh tindakan-tindakan politiknya agar dilaksanakan stau tidak dilaksanakan.

B.     Pengertian Kekuasaan

Dalam sebuah ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.

a. Pengertian Pembagian Kekuasaan
Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama (Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 140). Berbeda dengan pendapat dari Jimly Asshiddiqie yang mengatakan kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks dan balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewanang-wenangan. Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu (Zul Afdi Ardian, 1994: 62):
1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.
2. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.

b. Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke
John Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu:
1.      Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2.      Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3.      Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain).
Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.

c. Konsep Trias Politica Montesquieu
Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
b) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).
Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:
a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing (Moh. Mahfud MD, 2001: 73).
Seperti halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu. Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:
a. Fungsi Pengaturan (Legislasi).
b. Fungsi Pengawasan (Control).
c. Fungsi Perwakilan (Representasi).
Kekuasaan Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi : 
a. Sistem Pemerintahan.
b. Kementerian Negara.
Begitu juga dengan kekuasaan Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut :
a. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
b. Prinsip Pokok Kehakiman.
c. Struktur Organisasi Kehakiman.
Jadi menurut Jimly Asshiddiqie kekuasaan itu masing-masing mempunyai cabang kekuasaan sebagai bagian dari kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara dalam penyelenggaraan negara.

d. Pembagian Kekuasaan di Indonesia
Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.
Di sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :
1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara.

e. latar Belakang Checks and Balances di Indonesia
Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode orde lama (1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden. Tidak jauh berbeda pula pada masa orde baru (1966-1998) dari 1000 orang jumlah anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal tersbut menunjukan bahwa pada masa-masa itu MPR seakan-akan hanya menjadi alat untuk mempertahankan penguasa pemerintahan (presiden), yang mana pada masa itu kewenangan untuk memilih dan mengangkat Presiden dan/ atau Wakil Presiden berada di tangan MPR. Padahal MPR itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga siapa yang menguasai suara di MPR maka akan dapat mempertahankan kekuasaannya.
Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang demikian besar juga dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam hal kenyataan juga terlihat wakil yang diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak yang mengangkatnya, sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah atau golongan yang diwakilinya. Akibatnya adalah wakil-wakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan yang diwakilinya. Namun terkait dengan hal itu, Presiden sendiri merupakan mandataris MPR yang harus bertanggung jawab kepadanya.
Berdasarkan hal tersebut maka hubungan antara MPR dengan Presiden sangat sulit dilihat sebagai hubungan vertikal atau horizontal, jika terlepas dari MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara yang jelas mempunyai hubungan vertikal. Maka idealnya seluruh anggota MPR itu diplih rakyat melalui Pemilu. Dan di sisi lain sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keberadaan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakayat. Konstruksi ini menunjukkan bahwa MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan rakyat sehingga menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, yang mengatasi cabang-cabang kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara yang berada di bawahnya harus bertanggung jawab kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen penyelenggara negara atau sering disebut checks and balances system antar lembaga tinggi negara tidak dapat dijalankan.
Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi) yang seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat (1) naskah asli UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa MPR mendistribusikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih kepada Presiden dalam fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang demikian sehingga pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara sangat lemah sekali. 
Orde reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998, yang terjadi karena berbagai krisis, baik krisis ekonomi, politik maupun moral. Gerakan reformasi itu membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah Amandemen UUD 1945, penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, serta mewujudkan kehidupan yang demokratis. Tuntutan itu muncul karena masyarakat menginginkan perubahan dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia untuk memuwujdkan pemerintahan negara yang demokratis dengan menjamin hak asasi warga negaranya. Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945 yang dilatar belakagi dengan adanya beberapa alasan, yaitu:
a.  Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
b.  Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden.
c.  Pasal-pasal yang sifatnya terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan multi tafsir.
d.  Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang.
e. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung   ketentuan konstitusi.
Hal-hal tersebut merupakan penyebab mengapa keseimbangan dan pengawasan terhadap lembaga penyelenggara negara dianggap sangat kurang (checks and balances system) tidak dapat berjalan sehingga harus dilakukan Perubahan UUD 1945 untuk mengatasi hal tersebut.
Perubahan UUD 1945 yang terjadi selama empat kali yang berlangsung secara berturutan pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 telah membawa dampak yang besar terhadap stuktur ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan negara yang sangat besar dan mendasar. Perubahan itu diantara adalah menempatkan MPR sebagai lembaga negara yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Negara lainnya tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil, pengaturan HAM, munculnya beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, dan lain sebagainya.
Terkait dengan perubahan kedudukan MPR setelah adanya Perubahan UUD 1945 Abdy Yuhana menjelaskan bahwa berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” yang merupakan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelumnya yang berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Dari hasil perubahan tersebut dapat dilihat bahwa konsep kedaulatan rakyat dilakukan oleh suatu Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR yang dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sekarang melalui ketentuan tersebut telah dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri. Konsekuensi dari ketentuan baru itu adalah hilangnya Lembaga Tertinggi Negara MPR yang selama ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini merupakan suatu perubahan yang bersifat fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances). Rumusan tersebut juga memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk membuka kemungkinan diselenggarakannya pemilihan presiden secara langsung, agar sesuai dengan kehendak untuk menerapkan sistem pemerintahan presidensial (Abdy Yuhana, 2007: 139).
Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa dengan adanya pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu, maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial (Ni’matul Huda, 2003: 19). Dari dua pendapat tersebut maka dapat simpulkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil perubahan telah menganut teori “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) untuk menjamin prinsip checks and balances demi tercapainya pemerintahan yang demokratis yang merupakan tuntutan dan cita-cita reformasi.

     Kekuasaan Negara
Kekuasaan negara dalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh[1] [2] atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) atau Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
Dalam pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja, kekuasaan pejabat negara. Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi perintah / dengan tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yg tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yg memerintah dan ada yg diperintah. Manusia berlaku sebagau subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Contohnya Presiden, ia membuat UU (subyek dari kekuasaan) tetapi juga harus tunduk pada UU (objek dari kekuasaan).


Kekuasaan bersifat positif
Merupakan Kemampuan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat memengaruhi dan mengubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-sungguh dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental.

Kekuasaan bersifat Negatif
Merupakan sifat atau watak dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam memengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental. Biasanya pemegang kekuasaan yang bersifat negatif ini tidak memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang baik,mereka hanya berfikir pendek dalam mengambil keputusan tanpa melakukan pemikiran yang tajam dalam mengambil suatu tindakan, bahkan mereka sendiri kadang-kadang tidak dapat menjalankan segala perintah yang mereka perintahkan kepada orang atau kelompok yang berada di bawah kekuasannya karena keterbatasan daya pikir tadi. dan biasanya kekuasaan dengan karakter negatif tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau golongan di atas kekuasannya itu. karena mereka tidak memiliki kemampuan atau modal apapun selain kekuasaan untuk menghasilkan apapun, dan para pemegang kekuasaan bersifat negatif tersbut biasanya tidak akan berlangsung lama karena tidak akan mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh rakyatnya. Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai partai politik berusaha untuk merebut konstituen dalam masa pemilu. Partai politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat.
                                     


Legitimasi kekuasaan
Dalam pemerintahan mempunya makna yang berbeda: "kekuasaan" didefinisikan sebagai "kemampuan untuk memengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bila tidak dilakukan", akan tetapi "kewenangan" ini akan mengacu pada klaim legitimasi, pembenaran dan hak untuk melakukan kekuasaan. Sebagai contoh masyarakat boleh jadi memiliki kekuatan untuk menghukum para kriminal dengan hukuman mati tanpa sebuah peradilan sedangkan orang-orang yang beradab percaya pada aturan hukum dan perundangan-undangan dan menganggap bahwa hanya dalam suatu pengadilan yang menurut ketenttuan hukum yang dapat memiliki kewenangan untuk memerintahkan sebuah hukuman mati.
Dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial, kekuasaan telah dijadikan subjek penelitian dalam berbagai empiris pengaturan, keluarga (kewenangan orangtua), kelompok-kelompok kecil (kewenangan kepemimpinan informal), dalam organisasi seperti sekolah, tentara, industri dan birokrat (birokrasi dalam organisasi pemerintah) dan masyarakat luas atau organisasi inklusif, mulai dari masyarakat yang paling primitif sampai dengan negara, bangsa-bangsa modern atau organisasi (kewenangan politik).

Sifat kekuasaan
Kekuasaan cenderung korup adalah ungkapan yang sering kita dengar, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Power tends to corrupct. Kekuasaan dapat dikatakan melekat pada jabatan ataupun pada diri orang tersebut, penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Position Power, kekuasaan yang melekat pada posisi seseorang dalam sebuah organisasi. 2. Personal Power, kekuasaan yang berada pada pribadi orang tersebut sebagai hubungan sosialnya.
French & Raven mengatakan bahwa ada lima jenis kekuasaan: 1. Kekuasaan memberi penghargaan. 2. Kekuasaan yang memaksa 3. Kekuasaan yang sah. 4. Kekuasaan memberi referensi. 5. Kekuasaan ahli Sumber kekuasaan bila dikaitkan dg kegunaan, maka sbb: 1.Militer & àPolisi   utk mengendalikanàutk mengendalikan kekerasan dan kriminal 2.Ekonomi  tanah, buruh, kekayaan &  utk pengambilanàproduksi 3.Politik   utk mempertahankan, mengubah,àkeputusan 4.Hukum  & melancarkan  utk mempertahankan sistem kepercayaan /àinteraksi5.Tradisi  nilai-nilai Sumber – sumber kekuasaan meliputi: 6.Sarana Paksaan Fisik. 5. Keahlian 7.Hukum normatif 6. Status sosial 8.Harta kekayaan 7. Popularitas 9.Jabatan 8. Massa yg terorganisir

Opini:
Menurut saya, ilmu politik dalam suatu Negara penting untuk dipelajari contohnya mempelajari Politik Negara, Pengambilan Keputusan, Kebijakan umum, Distribusi Kekuasaan, dan Kekuasaan Negara. Karena apabila kita tidak mempelajari itu semua maka negara kita akan diambang krisis demokrasi.

C.    Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan dapat dianggap sebagai suatu hasil atau keluaran dari proses mental atau kognitif yang membawa pada pemilihan suatu jalur tindakan di antara beberapa alternatif yang tersedia. Setiap proses pengambilan keputusan selalu menghasilkan satu pilihan final. Keputusan dibuat untuk mencapai tujuan melalui pelaksanaan atau tindakan.
                                             
D.    Kebijaksanaan Umum (Public)
Berdasarkan berbagai definisi para ahli kebijakan publik, kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan.

E.     Pengertian Strategi dan Strategi Nasional
Strategi nasional adalah perencanaan dan memutuskan sesuatu untuk kepentingan negara. Kata strategi sendiri berasal dari bahasa Yunani stratēgos. Politik dan strategi pertahanan nasional harus berjalan selaras. Strategi nasioanal dirancang untuk menjawab kepentingan nasional negara tersebut. Setiap strategi di masing-maisng negara berbeda karena kebijakan dan kebutuhan masyarakat disetiap negar berbeda-beda satu sama lainnya. Sebagai salah satu negara berdaulat dan bermartabat, tentunya Indonesia harus memiliki strategi besar yang dapat menjamin tercapainya segala kepentingan nasional guna mewujudkan tujuan nasional menciptakan masyarakat adil dan makmur.

F.     Penyusunan Politik dan Strategi Nasional
Penyusunan politik dan strategi nasional perlu memahami pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam sistem manajemen nasional yang berlandaskan ideologi Pancasila, UUD 1945, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional.
Mekanisme penyususunan politik dan strategi nasional di tingkat suprastruktur politik diatur oleh Presiden/ Mandatris MPR.

Dalam melaksanakan tugasnya Presiden dibantu oleh lembaga-lembaga tinggi negara lainnya serta dewan-dewan yang merupakan badan koordinatif, seperti Dewan Stabilitas Ekonomi, Dewan Pertahanan Keamanan Nasional,dll

Selanjutnya proses penyusunan politik dan strategi nasional ditingkat ini dilakukan setelah presiden menerima GBHN, kemudian menyusun program kabinet dan memilih para menteri yang akan melaksanakan program kabinet tersebut.
Jika politik nasional ditetapkan oleh Presiden/Mandataris MPR, maka strategi nasional dilaksanakan oleh para menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen sesuai dengan bidangnya atas petunjuk presiden.

2. Spesifikasi Politik dan Strategi Nasional di Daerah
-       Tingkat penentu kebijakan puncak
a. Meliputi kebijakan tertinggi yang menyeluruh secara nasional dan mencakup penentuan undang-undang dasar. Menitikberatkan pada masalah makro politik bangsa dan negara untuk merumuskan idaman nasional berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan tingkat puncak dilakukanb oleh MPR.
b. Dalam hal dan keadaan yang menyangkut kekuasaan kepala negara seperti tercantum pada pasal 10 sampai 15 UUD 1945, tingkat penentu kebijakan puncak termasuk kewenangan Presiden sebagai kepala negara. Bentuk hukum dari kebijakan nasional yang ditentukan oleh kepala negata dapat berupa dekrit, peraturan atau piagam kepala negara.
-          Tingkat kebijakan umum
Merupakan tingkat kebijakan dibawah tingkat kebijakan puncak, yang lingkupnya menyeluruh nasional dan berisimengenai masalah-masalah makro strategi guna mencapai idaman nasional dalam situasi dan kondisi tertentu.
-          Tingkat penentu kebijakan khusus
Merupakan kebijakan terhadap suatu bidang utama pemerintah. Kebijakan ini adalah penjabaran kebijakan umum guna merumuskan strategi, administrasi, sistem dan prosedur dalam bidang tersebut. Wewenang kebijakan khusus ini berada ditangan menteri berdasarkan kebijakan tingkat diatasnya.
-          Tingkat penentu kebijakan teknis
Kebijakan teknis meliputi kebijakan dalam satu sektor dari bidang utama dalam bentuk prosedur serta teknik untuk mengimplementasikan rencana, program dan kegiatan.
-          Tingkat penentu kebijakan di Daerah
a. Wewenang penentuan pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat di Daerah terletak pada Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerahnya masing-masing.
b. Kepala daerah berwenang mengeluarkan kebijakan pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD. Kebijakan tersebut berbentuk Peraturan Daerah (Perda) tingkat I atau II. Menurut kebijakan yang berlaku sekarang, jabatan gubernur dan bupati atau walikota dan kepala daerah tingkat I atau II disatukan dalam satu jabatan yang disebut Gubernur/KepalaDaerah tingkat I, Bupati/Kepala Daerah tingkat II atau Walikota/Kepala Daerah tingkat II.


Sumber : http://basirblog21.blogspot.com/2015/05/politik-strategi-nasional_51.html
              http://ug-komputer.blogspot.com/2015/05/pengertian-politik-negara-kekuasaan.html
              http://diikadika.blogspot.com/2012/07/politik-negara-pengambilan-keputusan.html